Dapat dipastikan orang Indonesia akan menganggap T E L O
R adalah kebutuhan sepele ........ bisa.... mungkin telor ayam.... atau
mungkir telor puyuh.........
Lain halnya di Negeri Matahari terbit atau banyak dikenal
orang dengan sebutan Negeri Sakura ...... masalah ...... telor dan
disiplin ....... disana akan menjadi rumit ...... :
Adalah
seorang produser / sutradara di salah satu TV swasta di
Indonesia betandang ke Jepang, dan selengkapnya
dapat dibaca dibawah ini ....... :
Masalahnya tampak sederhana. Teman saya, publisher
sebuah majalah musik terkenal, tergila-gila pada telor. Hampir di setiap
kesempatan makan, urusan telor tak pernah ketinggalan. Dari mulai
sarapan, makan siang, sampai makan malam.
Namun urusan telor itu mendadak jadi
rumit ketika kami berada di Jepang baru-baru ini. Suatu hari, saat makan siang,
di salah satu menu disebutkan ada makanan yang disajikan dengan telur goreng
setengah matang di atasnya. Terbit air liur sang kawan. Tapi setelah tahu ada
bahan yang haram, dia mengubah pesanannya. Kepada waiter, dia
wanti-wanti agar telor setengah matang tadi bisa dipindahkan ke pesanan
yang baru. Sang waiter menggeleng. Permintaan yang "sepele"
itu tidak dapat dipenuhi karena menu yang baru memang ditawarkan tanpa telor.
Setelah melalui perdebatan, akhirnya kami
minta agar dia memanggil manajer restoran. Kepada sang manajer, kami jelaskan
soal keinginan tadi. Dengan permohonan maaf berulang-ulang, dia mengatakan
permintaan itu tidak bisa dikabulkan. Apa yang ditawarkan, itulah yang bisa
mereka sediakan. Meskipun kami sudah menawarkan membayar berlipat untuk telor
itu. Sulit dipahami kan ?
Urusan telor semacam itu di Indonesia
hanyalah persoalan kecil. Tinggal goreng, selesai. Tapi, jika kita memahami
orang Jepang, mungkin akhirnya kita bisa nrimo. Disiplin yang tinggi
memang menjadi ciri yang kuat dari orang-orang Jepang. Kadang terasa terlalu
kaku ketika konteksnya telor tadi.
Teman saya tidak jadi sakit hati manakala
kami mencoba memahami jalan pikiran waiter dan sang manajer termasuk,
sistem yang sudah berjalan baik di negeri matahari terbit itu. Kami jadi geli
saat membayangkan ketika restoran tutup nanti, manajer harus
mempertanggungjawabkan mengapa ada satu telor yang "hilang" atau
tidak klop dengan menu yang terjual hari itu. Lalu bagaimana memasukan
penjelasan soal "telor yang lompat ke menu lain", yang tidak
bisa dilacak oleh komputer yang sudah diprogram? Artinya, satu telor
menyimpang dari jalurnya saja akan cepat ketahuan dan harus bisa
dipertanggungjawabkan. Setiap orang tidak bisa dengan mudah melakukan
penyimpangan dari sistem dan prosedur yang sudah ada.
Saya mungkin terlalu mengada-ada ya? Bahkan
saya dan teman jadi tertawa ketika berimajinasi bahwa setelah restoran tutup,
sang manajer dan semua staf akan melakukan evaluasi, termasuk membahas
bagaimana memecahkan permintaan aneh dari tamu tadi siang. Namun, setelah
mereka tahu bahwa tamu yang aneh tadi berasal dari Indonesia , mereka lalu menyimpulkan
tidak perlu dibahas lebih lanjut karena sang tamu memang berasal dari negara
yang "semua bisa diatur", di mana orang-orangnya terbiasa melakukan
penyimpangan. Jadi, rapat lalu memutuskan jangan sampai "virus"
berbahaya itu mereka akomodasi dan merusak sistem dan prosedur yang sudah mereka
yakini dan jalankan selama ini dengan disiplin yang tinggi.
Tidak mudah melakukan penyimpangan di negara
yang tertib. Begitulah pesan moral dari persoalan telor tadi. Tak heran
jika sepanjang berada di Jepang, semua serba tertib. Pada saat naik metro,
menyeberang, naik eskalator, antri taksi, bayar di kasir, masuk restoran, dan
kegiatan di ruang publik lainnya, serba tertib. Hidup rasanya sangat aman dan
nyaman. Tidak ada dominasi yang kuat mengalahkan yang lemah. Tidak ada saling
sikut. Hidup kok jadi indah ya?
Masalahnya, hidup ini memang memilih. Kita
mau yang mana. Bangsa Jepang bisa bangkit menjadi bangsa yang besar seperti
sekarang ini, karena mereka memilih disiplin sebagai fondasi. Mereka meyakini
disiplin yang tinggi merupakan kunci untuk maju.
Jadi, urusan telor yang rumit tadi,
kalau dilihat dari kacamata orang-orang Jepang, tentu jadi rumit karena masuk
kategori penyimpangan. Saya dan teman saja yang kebetulan salah tempat. Andai
waktu itu kami berada di sebuah warung di Indonesia , soal telor tadi
urusan sepele. Semua bisa diatur di negeri ini...